[caption id="attachment_1386" align="aligncenter" width="529"] Taken from WIkipedia.
Pusat kota Kuching. Terlihat Waterfront, Gedung Undangan Negara (Setingkat DPR), dan Sungai Sarawak[/caption]
Kuching, dalam pelafalan Mandarin Gǔ jìn (古晉), adalah ibukota negara bagian Sarawak, Malaysia. Kota ini merupakan salah satu kota besar di negara Malaysia yang cukup populer sebagai pusat destinasi wisata bagi para wisatawan atau travellers. Kuching juga saat ini telah menjadi salah satu pusat industri dan komersil utama di Malaysia Timur.
Khusus bagi masyarakat Pontianak, Kalimantan Barat, Kuching memiliki posisi yang istimewa dan sangat terkenal. Ini dikarenakan banyak hal, selain karena letak geografisnya yang cukup dekat, alasan wisata belanja dan budaya pun mengetengah.
Beberapa saat yang lalu, saya memiliki kesempatan bersama rombongan teman-teman yang disebut sebagai ‘para pelarian’ untuk mengunjungi Kuching. Bagi beberapa rekan, kunjungan ke Kuching bukanlah kunjungan yang pertama, bahkan bisa dikatakan kunjungan ‘rutin’.
Dalam artikel kali ini, saya tidak sekadar menceritakan pengalaman wisata saya ke Kuching, namun juga menceritakan hal-hal kecil nan sederhana yang saya anggap unik namun penting untuk diketahui.
Sensus Malaysia tahun 2010 menyebutkan bahwa populasi Kuching berjumlah 325.132 terdiri atas mayoritas etnis Melayu, China (saya menyebutkan etnis China karena penggunaan kata etnis ‘Tionghoa’ hanya digunakan di Indonesia), dan Dayak. Meskipun bila kita sampai di pusat kota, kita akan melihat bahwa etnis (atau istilah dalam bahasa Melayu Malaysia disebut sebagai ‘bangsa’) China sepertinya mayoritas. Selain itu, kita juga dapat dengan mudah melihat etnis India, terutama di kawasan pertokoan India Street.
Hal pertama yang membuat kota ini menjadi unik adalah bahwasanya kota Kuching memiliki keterikatan khusus dengan warga Pontianak, Indonesia, terutama dari etnis Tionghoa. Keterikatan ini dalam hal budaya dan sejarah. Seperti yang dapat dilihat di Muzium Sejarah Cina (Chinese History Museum) yang terletak tepat di tengah kota, warga Kuching yang beretnis China pada mulanya adalah warga Tionghoa dari beragam area di Kalimantan Barat, Indonesia yang merantau ke daerah ini dalam rangka mendapatkan pekerjaan yang laik. Oleh sebab itu, warga Tionghoa dari Pontianak atau beragam tempat lain di Kalimantan Barat cukup mudah berkomunikasi dengan warga Kuching dikarenakan persamaan dialek bahasa China, yaitu Tio Ciu (Teochew) dan Khe’ (Hakka).
Di beragam sudut kota Kuching, kita akan sering mendapatkan warga Pontianak. Oleh sebab itu tak heran bila bisa dikatakan kota Kuching sebagai kota Pontianak Kedua, atau the Second Kun Thien (sebutan Pontianak oleh warga Tionghoa Kalimantan Barat). Beragam kekayaan budaya China, termasuk struktur kota, bangunan dan Chinese temples yang terserak di seantero Kuching tak pelak mengingatkan pada kota Singkawang di Kalimantan Barat, hanya saja Kuching memang lebih besar dan lebih teratur, sehingga tak heran bila Kuching juga pantas disebut sebagai versi besar dari Kota Singkawang (dikenal juga sebagai San Keuw Jong).
The Journey
[caption id="attachment_1387" align="aligncenter" width="529"] Bekal Utama: Passport[/caption]
Perjalanan para pelarian dimulai dari Pontianak dengan menggunakan bis antar negara. Sangat disarankan untuk membeli tiket bis jauh hari sebelum hari yang direncanakan. Ini dikarenakan Kuching adalah kota tujuan populer di Kalimantan barat sehingga masa-masa liburan atau masa khusus lainnya akan sangat sulit mendapatkan tiket, terutama dengan harga yang sesuai. Harga tiket dari Pontianak ke Kuching berkisar dua ratus ribuan rupiah.
Para pelarian berangkat dari terminal bis Internasional Sungai Ambawang pukul 21.00 tepat. Walau terminal internasional ini berdiri belum genap satu tahun, namun lalu lintas perjalanan antar negara cukup padat dan syukurnya tepat waktu. Ada banyak bis yang biasa digunakan sebagai transportasi, ada SJS, DAMRI, Bintang Jaya Express dan sebagainya, baik milik Indonesia maupun Malaysia.
[caption id="attachment_1388" align="aligncenter" width="529"] Terminal Bis Antar Negara Pontianak[/caption]
[caption id="attachment_1389" align="aligncenter" width="529"] Persiapkan tiket anda sedari awal[/caption]
[caption id="attachment_1393" align="aligncenter" width="529"] The bus, somewhere in Borneo.[/caption]
NOTE: Sebelum berangkat perlu dipersiapkan passport dan menukarkan mata uang rupiah anda ke ringgit. Oleh sebab itu, persiapan jauh-jauh hari mutlak adanya. Beberapa menggunakan kesempatan naiknya kurs harga rupiah untuk menukarkan rupiah.
Ada dua jalur yang awam dikenal untuk menuju Kuching, pertama dikenal dengan jalur arah Tayan dan jalur arah Siantan. Keduanya bukan istilah resmi, hanya istilah yang dikenal warga untuk menjelaskan durasi dan trek perjalanannya. Jalur Tayan dikenal lebih cepat namun dengan kondisi jalan yang di beberapa bagian cukup buruk, sedangkan jalur Siantan dianggap memakan waktu yang lebih lama karena memutar dan melewati beberapa area/kota di Kalimantan Barat. Jalur Siantan kerap digunakan bis ketika dalam perjalanan dari Kuching ke Kalimantan Barat, karena banyak penumpang yang berhenti di berbagai tempat tersebut.
Pukul 21.00 malam perjalanan berhenti di Sosok tepat pukul 00.00. Sosok adalah pemberhentian awam bagi bis-bis untuk beristirahat atau makan. Ada legenda yang beredar, bahwasanya nasi padang ‘mahal’ di Sosok memiliki rasa sangat lezat. Ini mungkin dikarenakan pengaruh fisik dan psikologis tubuh yang lelah. Saya sudah membuktikan bahwa ini memang benar adanya. Nasi, sayur daun ubi rebus, kuah, dan sepotong telur asin dengan harga Rp. 10.000 terasa seperti surga kecil di lidah, dilengkapkan dengan secangkir kopi dengan harga Rp. 6.000.
[caption id="attachment_1390" align="aligncenter" width="529"] Restoran Padang 'Roda Minang' Sosok yang legendaris itu.[/caption]
[caption id="attachment_1391" align="aligncenter" width="529"] Secangkir kopi hitam dan telur rebus yang 'dibumbui' kecap asin yang dibawa 'para pelarian' sebagai bekal bila sampai di Sosok. Ini efektif untuk menghemat biaya dibanding membeli makan di Sosok bila sampai tengah malam. Namun juga dianjurkan untuk sekedar mencicip nasi Padang yang 'mahal' namun sangat enak karena faktor psikologis dan fisik karena perjalanan yang panjang.[/caption]
Perjalanan dilanjutkan menuju perbatasan Indonesia-Malaysia, Entikong/Tebedu. Bis yang kami tumpangi ternyata memacu dengan kecepatan diatas rata-rata sehingga kami sampai di perbatasan hanya dalam waktu kurang dari 2 jam, padahal pelayanan perbatasan baru buka pukul 05.00 pagi, sehingga para penumpang harus menunggu di dalam bis beberapa jam.
Setelah pengecekan, perjalanan dilanjutkan untuk menuju ke terminal sentral Kuching. Sampai di Terminal masih sangat pagi, sehingga masih banyak stand atau pertokoan yang belum buka. Untuk mencari makan pun pilhannya belum banyak.
(Perlu diketahui bahwa terminal bus sentral Kuching juga digunakan sebagai mall, atau pusat perbelanjaan. Konsep ini sebenarnya cukup awam, namun memang tidak mudah menemukannya di Indonesia).
[caption id="attachment_1392" align="aligncenter" width="529"] Terminal Bis Sentral Kuching sekaligus pusat perbelanjaan.[/caption]
NOTE: Sesampainya di Malaysia, tentu komunikasi akan terputus, dikarenakan SIM Card Handphone tidak lagi berfungsi di Malaysia. Kecuali mungkin penyedia XL yang meski mahal masih dapat digunakan untuk berkomunikasi ke Indonesia. Bila anda pengguna Internet dan BBM yang aktif, segera ganti kartu telepon anda dengan yang tersedia di sana. Beragam penyedia layanan kartu telepon seperti DiGi dan Hotlink cukup dikenal.
Oiya, jangan ragu untuk mencoba menggunakan satu ringgit anda (RM.1) di barisan kursi pijat otomatis yang disediakan di beragam tempat, termasuk mall dan pusat perbelanjaan lainnya.
[caption id="attachment_1394" align="aligncenter" width="529"] Enjoy the massage.[/caption]
Setelah bernego dengan dan mencari informasi yang memadai, kami akhirnya mendapatkan taksi untuk langsung menuju ke Bako National Park (dibahas di artikel saya yang lain).
Catatan keunikan berikutnya. Sangat mudah untuk mengetahui etnis warga Kuching. Beberapa petugas atau pegawai bis dan terminal, bila ditemukan mereka memiliki tato dan secara fisik seperti layaknya orang Asia Tenggara, apalagi beragama Nasrani (dari tato, kalung salib yang dikenakan, poster/stiker orang-orang kudus Nasrani di mobil atau pernak-pernik kudus lainnya), hampir dipastikan ia berasal dari etnis Dayak, karena etnis Melayu hampir bisa dipastikan beragama Islam dan tidak diperbolehkan memiliki tato. Menurut Mr. Marcos, taxi driver kami, pemerintah memiliki kebijakan untuk hal ini. Warga etnis China sudah dapat dipastikan memiliki ciri fisik yang jelas dan berbahasa China dengan beragam dialek, termasuk Mandarin. Etnis India memiliki ciri fisik yang kuat serta beragama Islam, Hindu dan Sikh. Selain etnis Melayu dan warga beragama Islam, kebanyakan warga non-Islam/Melayu lainnya bekerja di sektor non-pemerintahan.
[caption id="attachment_1395" align="aligncenter" width="529"] Terminal, Para Pelarian, Taxi dan Mr. Marcos the driver.[/caption]
Dalam hal bahasa, ini juga sangat penting untuk diketahui. Penggunaan dialek Tio Ciu dan Hakka (disamping dialek-dialek lainnya, seperti Hokkian atau Kanton) kerap mempermudah komunikasi dan negosiasi. Oleh sebab itu, warga Pontianak, Singkawang atau Kalimantan Barat secara umum, seperti memiliki keterikatan budaya dan bahasa yang menjadikan Kuching adalah kota kedua mereka. Namun, dalam beberapa kesempatan, saya mendapati bahasa Mandarin lebih tepat digunakan. Bahkan kerap negosiasi mengenai harga atau pelayanan dapat lancar karena menggunakan bahasa Mandarin dibanding bahasa lainnya. Bahasa Inggris juga sangat dapat digunakan, namun sama halnya dengan Singapura atau Hongkong, bahasa Inggris di Kuching memiliki ‘nafas’ yang berbeda. Ketika menggunakan bahasa Inggris yang baik, anda harus siap untuk kecewa. Bahasa Inggris dengan aksen Melayu atau China yang kuat berhamburan dengan banyak kosakata Mandarin atau Melayu. Ini terutama bila anda berbicara dengan orang dari etnis China. Bila berbicara dengan etnis India, bahasa Inggris diutamakan. Bila berbicara dengan etnis Melayu atau Dayak, bahasa Melayu mengemuka. Walau Pontianak juga merupakan garis komunitas Melayu, bahasa Melayu Kuching dikenal sebagai Bahasa Melayu Sarawak dengan beragam pembedaan. Komunikasi menjadi tantangan tersendiri yang kadang bisa menjengkelkan, kadang bisa pula menyenangkan.
Perjalanan dari terminal Kuching ke pusat kota hanya membutuhkan waktu 30 sampai 45 menit saja. Di Kuching, kami menginap di sebuah hotel kecil namun dekat dengan pusat kota.
[caption id="attachment_1396" align="aligncenter" width="529"] Green Mountain Lodging House. Tempat rombongan menginap. Kecil namun dekat dengat pusat kota, dan tentunya dengan acceptable price.[/caption]
[caption id="attachment_1415" align="aligncenter" width="529"] Beraham jalan kecil, gang, mengingatkan saya pada struktur dan gaya kota yang mayoritas dihuni oleh warga China atau Tionghoa seperti Pontianak dan Singkawang.[/caption]
Hal utama yang dapat dilihat di Kuching adalah kemajuannya. Ketertiban dan kebersihan kota, serta kesan tenang dikarenakan memang penduduk Kuching tidak sepadat kota-kota besar di Indonesia. Pada dasarnya, Kuching tidak terlalu istimewa. Keberagaman budaya masih kalah jauh dibandingkan di Pontianak. Kuching terdiri atas 30 etnis yang sudah dihitung beragam etnis Dayak dan China. Sedangkan Pontianak saja, selain beragam etnis Melayu (melayu Sambas, Ketapang, Singkawang, Sanggau, dsb), beragam etnis Dayak, beragam etnis Tionghoa (mayoritas Hakka dan Tio Ciu), masih ada beragam etnis Jawa (Jawa Timur, Jawa Tengah, dsb.), Sunda, Madura, Bugis, Bali, termasuk India, Arab, Persia dan masih banyak lagi. Hanya saja perlu diakui, Kuching memiliki pola kehidupan yang moderat dan modern. Semenjak dibangun oleh raja Sarawak (atau gubernur karena masih merupakan daerah kekuasaan kerajaan Brunei) dari Inggris, James Brooke, Kuching diatur sedemikian rupa agar memiliki keteraturan. Dibangunlan jalan-jalan, benteng, bangunan pusat pemerintahan, kepolisian, bank-bank, serta tentu saja pusat perekonomian masyarakat seperti pertokoan.
Ini membuat pekerjaan pemerintah Malaysia di masa modern menjadi lebih mudah. Pekerjaan yang ditinggalkan oleh pemerintahan Brooke tinggal dilanjutkan tanpa banyak mengubah. Setiap bagian kota baik yang bersejarah maupun menyimpan beban budaya dijelaskan dengan baik. Penanda tahun, nama, dan sejarah telah dipetakan sehingga lebih mudah bagi para wisatawan untuk melihat dan menikmati Kuching dengan baik.
Sebagai sebuah kota dengan pemasukan utama dari pariwisata, tentu Indonesia mendapatkan tempat istimewa di hati Kuching. Saya rasa mayoritas pemasukan devisa dari pariwisata belanja, budaya, dan medis Kuching didapatkan dari warga Indonesia, terutama dari Kalimantan Barat. Kuching juga sangat populer sebagai tempat transit (melalui bandara atau terminal bis) para pelancong untuk ke negara-negara lain seperti Brunei Darussalam, negara bagian Semenanjung Malaysia (Kuala Lumpur), Thailand, Singapura, bahkan Korea Selatan yang sedang ramai menjadi tujuan tempat wisata akhir-akhir ini.
Tourism Spots
Untuk urusan wisata budaya, bila anda tinggal di Kalimantan Barat, apalagi Singkawang dan pontianak, mungkin adanya banyak pusat budaya serta agama China (Buddha Mahayana, Taoisme, Konghucu) seperti Chinese Temples tidak akan begitu menarik. Singkawang dan Pontianak bahkan memiliki banyak kelenteng megah dan lebih kuno serta bersejarah dibanding di Kuching, mengingat warga etnis China Kuching pada awalnya bermigrasi dari Kalimantan Barat. Namun bagaimanapun, bagi saya secara pribadi wisata sejarah, budaya dan sosial masyarakat manapun amatlah berharga. Kota Kuching yang didirikan oleh seorang gubernur yang diberi gelar rajah (bisa dipastikan adalah ‘raja kecil’) berasal dari warga Inggris sebagai seorang kolonial, mampu mengatur masyarakat sedemikian rupa sehingga menjadi wajah Kuching saat ini.
[caption id="attachment_1400" align="aligncenter" width="529"] Beberapa bangunan bersejarah yang saling berdekatan lokasinya sehingga mudah sekali untuk dicapai dengan berjalan kaki saja.[/caption]
[caption id="attachment_1412" align="aligncenter" width="529"] Bila tidak cermat, sulit untuk membedakan dua bangunan ini dan salah mengartikannya sebagai dua buah masjid. Potongan atas memang adalah sebuah masjid dengan gaya India yang khas, namun potongan gambar bawah adalah sebuah Gurdwara, yaitu kuil sembahyang agama Sikh yang juga berasal dari India. Kaum Sikh sangat mudah dikenal. Biasanya mereka memelihara cambung, kumis dan janggut, serta tidak memotong rambutnya namun ditutup dengan turban berwarna hitam atau putih.[/caption]
Silahkan datangi Museum sejarah China di Kuching. Di Jakarta kita dapat menemukan museum Benteng, museum bersejarah kaum Tionghoa di Jakarta, terutama di Benteng.
[caption id="attachment_1401" align="aligncenter" width="529"] Muzium Sejarah Cina (Chinese History Museum). Secara linguistik, bahasa Melayu Malaysia menyerap kata-kata asing dengan mengambil pelafalan/pronunciation nya kemudian menuliskannya dengan ejaan yang dikenal dalam bahasa Melayu. Kata 'muzium' berbunyi persis seperti pelafalan museum dalam bahasa Inggris.[/caption]
Museum sejarah China ini terletak di pusat kota, tepat di tepi sungai Sarawak dan Waterfront Kuching, si seberang Chinese temple bersejarah Tua Pek Kong, dan terletak pula di seberang jalan Kuching Bazzar.
[caption id="attachment_1402" align="aligncenter" width="529"] Potongan atas adalah gambar bagian belakang museum pada siang hari, sedangkan potongan gambar bawah adalah bagian depan museum pada malam hari.[/caption]
Selain materi sejarah yang berkaitan dengan sejarah etnis China di Kuching (foto-foto, penjelasan sejarah, benda-benda), museum ini juga menjelaskan beragam dialek China yang ada di Kuching. Beberapa warga Kalimantan Barat, termasuk rombongan pelarian saya, seakan memiliki keterikatan secara batin dengan apa-apa yang ada di dalam museum ini. Misalnya saja dijelaskan beragam marga atau nama keluarga China, beragam pekerjaan yang biasa dilakukan oleh beragam etnis China. Sebut saja etnis Tio Ciu yang masa lalu biasa bekerja pada bidang pertokoan kelontong, seni dan pendidikan; etnis Kanton yang biasa menggeluti bidang elektronika dan teknologi; etnis Hakka yang bekerja pada bidang medis dan obat-obatan; atau etnis Hokkien yang lebih biasa menggeluti bidang tenaga kerja kasar dan bangunan. Selain itu, di museum yang kecil ini (dulunya adalah bangunan pengadilan bagi etnis China), ada contoh audio beragam dialek China yang bisa didengar. Selain dialek Tio Ciu, Hakka, dan Hokkien yang cukup dikenal di Indonesia, terdapat pula audio contoh percakapan bahasa Kanton yang biasa digunakan di Hongkong. Yang unik adalah masih ada banyak audio dialek yang sama sekali tidak dikenal, atau kurang akrab bagi warga etnis Tionghoa di Indonesia, misalnya saja Foochow (Fuzhou), Hainan atau Henghua.
[caption id="attachment_1403" align="aligncenter" width="529"] I love museum. What about you?[/caption]
Wisata rekreasi, Waterfront menjadi tujuan utama. Berjalan-jalan dan bersantai di sepanjang Waterfront pada malam hari dengan ditemani lampu-lampu, pemandangan Gedung Undangan Negara (setingkat DPR), serta beragam penjual aksesoris dan makanan jelas merupakan pilihan.
[caption id="attachment_1404" align="aligncenter" width="529"] Waterfront pada malam hari.[/caption]
Wisata belanja sebenarnya menempati ranking pertama wisata Kuching. Barang-barang (terutama fashion) dengan brand ternama dapat diborong dengan harga yang lebih murah. Meskipun Indonesia memiliki bandung, Jakarta dan Jogja yang juga dikenal memiliki harga murah untuk beragam item, toh Kuching merupakan kota kedua warga Pontianak yang memang untuk mencapainya tidak sulit dan lebih murah. Tiket Rp. 200.000an dengan bis, dibanding tiket Rp. 500.000 sampai lebih dari Rp. 1.000.000an dengan pesawat ke Jakarta atau pulau Jawa, atau Rp. 300.000an dengan kapal ke pulau Jawa yang membutuhkan waktu dua hari hingga sampai, merupakan kewajaran bahwa warga Pontianak lebih memilih Kuching sebagai pusat wisata belanja (tentu saja dengan alasan keterikatan budaya dan sejarah yang telah disampaikan sebelumnya).
Beragam pusat perbelanjaan seperti mall (Merdeka Mall, Boulevard, dan sebagainya), atau pusat pertokoan, aksesoris dan kuliner seperti Kuching Waterfront Bazaar dan India Street akan ramai dengan para pelancong. Pada masa liburan, tidak heran Kuching berubah menjadi Kun Thien dan San Keuw Jong, dimana banyak warga Pontianak dan sekitarnya yang berlibur. Tidak jarang warga Indonesia akan saling bertemu dengan tidak sengaja di Kuching. Dialek Tio Ciu dan Hakka berhamburan di mall. Tua muda, keluarga atau pribadi akan otomatis saling mengenali (terutama karena kerapa para pelancong sengaja maupun tidak menyebut beragam tempat yang dikenal di Pontianak, lagipula dialek Tio Ciu dan Hakka Pontianak dan Singkawang cukup khas sehingga mudah dikenali).
[caption id="attachment_1405" align="aligncenter" width="529"] Salah satu fashion counter yang menjadikan Kuching salah satu surga belanja. Girls ... go![/caption]
[caption id="attachment_1407" align="aligncenter" width="529"] India Street. Walau namanya merujuk pada warga keturunan India yang tinggal disana, tentu saja tidak seratus persen toko-toko di jalan ini dimiliki oleh orang-orang India. Warga China juga banyak menjual beragam keperluan, dari pakaian hingga obat-obatan.[/caption]
Saya sendiri memang memburu buku-buku bahasa Inggris Import yang saya dapatkan kebetulan dengan harga discount fantastis. Berkisar antara RM. 8 sampai RM. 10 di beragam toko buku di beragam mall. Setiap buku setara dengan Rp. 30.000 sampai Rp. 50.000. Masih cukup murah meski bila harus dibandingkan dengan buku-buku import di Periplus atau Gramedia di pulau Jawa yang harus mempertimbangkan tiket ke pulau Jawa. Teman saya bahkan mengatakan bahwa harga hot toys semacam model figure juga lebih murah beberapa ratus ribu dibandingkan dengan harga di Indonesia.
[caption id="attachment_1406" align="aligncenter" width="529"] My own heaven.[/caption]
NOTE: Bagi yang biasa berwisata ke daerah-daerah di Indonesia, terutama Jogja dan Bandung yang kaya akan karya seni, budaya dan aksesoris etnik, aksesoris oleh-oleh Kuching tidak akan memesonakan anda. Gantungan kunci, pernak-pernik bernafaskan tribal Dayak dan kerajinan tangan Kuching (atau Malaysia secara umum) sudah ada di Indonesia, bahkan di Kalimantan Barat sekalipun, sehingga aksesoris mungkin bukan pilihan belanja anda. Paling mungkin adalah kaos-kaos bergambar Kuching yang dapat dijadikan semacam buah tangan sebagai bukti anda pernah kesana. Namun itupun saya lebih memilih baju-baju dengan brand berkualitas dengan harga miring dibanding kaos bergambar Kucing atau tulisan Sarawak dengan harga RM. 20an.
Wisata medis bahkan memiliki legenda sendiri. Bila dokter di Pontianak dan Jakarta kerap memvonis ‘operasi’ atau bahkan ‘tidak mengetahui’ sebuah penyakit tertentu, dokter-dokter dan ahli medis Kuching dianggap jauh lebih jujur dan fair. Mereka dikenal mampu memberikan jawaban pasti dan mengobati dengan tepat dan manjur tanpa harus sedikit-sedikit lari ke operasi dimana tentu saja ini membutuhkan biaya yang besar. Bahkan untuk biaya check up serta pengobatan di Kuching plus tiket PP Pontianak-Kuching sekalipun masih jauh lebih murah dibanding pengobatan di Pontianak dan Jakarta. Begitu legendanya. Ini tentu saja tidak dapat diacuhkan, karena masuk akal kiranya. Karena Kuching sendiri telah mendeklarasikan kota nya sebagai pusat medis sebagai bagian dari industri dan pariwisata.
NOTE: Berwisata ke Kuching atau Malaysia secara umum pada masa Hari Raya Idul Fitri (atau dikenal dengan ‘Raya’ saja di Malaysia) akan butuh kesabaran. Ini dikarenakan warga muslim, biasanya etnis Melayu, Bangladesh, Pakistan atau India Muslim, masih menutup tokonya selama kurang lebih dua hari. Banyak tempat-tempat pemerintahan, termasuk museum juga akan tutup. Jadi pertimbangan untuk berlibur lebih dari dua hari pada masa Idul Fitri. Tempat wisata seperti Bazaar Waterfront atau India Street akan menjadi cukup sepi, karena banyak toko-toko yang masih tutup.
The Cuisine
[caption id="attachment_1408" align="aligncenter" width="529"] Little Lebanon Restaurant.[/caption]
Asal diketahui, pemerintah Malaysia menganjurkan dengan sangat kepada masyarakatnya untuk hidup sehat. Ini diterapkan dalam anjuran kuliner pula. Makanan dengan rasa terlalu asin, terlalu manis, atau terlalu pedas diharapkan untuk dihindari. Sebagai akibatnya memang makanan Malaysia tidak begitu ‘nendang’ dibanding makanan Padang yang pedas atau makanan Jawa yang manis. Namun, bukan berarti tidak ada makanan yang enak. Bila anda orang modern, makanan Eropa dan Amerika tersedia di mana-mana, apalagi gedung-gedung tinggi serupa mall dan pusat perbelanjaan pasti menyediakan McD, Starbucks dsb. Namun bagi yang memburu makanan-makanan berbeda, makanan India, Timur Tengah, dan China sudah pasti menarik perhatian dan selera anda. Di Pontianak, makanan India seperti Rotee atau Roti Cane (Cenai) sudal lumayan akrab, namun masih banyak viriasi makanan India di beragam penjuru. Yakinkan bila anda muslim, untuk mendapatkan restoran atau warung makan dengan cap halal. Jangan kuatir, di Kuching, hampir semua restoran akan memberi tahu anda atau menempelkan label ‘no pork’ atau sebaliknya dengan tulisan ‘babi’ besar-besar agak konsumen tidak salah.
[caption id="attachment_1411" align="aligncenter" width="529"] Savory rice, nasi ala India dengan rasa spicy yang kuat. Cukup unik.[/caption]
[caption id="attachment_1409" align="aligncenter" width="529"] Chinese hallal food.
Ada tanda 'No Pork' untuk menunjukkan bahwa makanan ini dapat dikonsumsi siapa saja.[/caption]
[caption id="attachment_1410" align="aligncenter" width="529"] Nasi Ayam (halal).
Walau rasanya tidak 'nendang', nasi ayam wajib dinikmati karena unik dengan nasi lemaknya.[/caption]
Meskipun tidak bisa mengalahkan Chinese food di Pontianak, makanan China di Kuching cukup unik. Sebut saja Kalo Mee atau Kwe Cap (Kwe Kia Theng untuk sebutannya di Pontianak, sedangkan Kwe Cap adalah sebutan makanan yang berbeda).
Untuk makanan Melayu, sudah barang tentu nasi lemak adalah ciri khasnya. Nasi putih dengan bumbu yang membuatnya terlihat basah dan berlemak. Di KFC atau McD Kuching, mereka tidak biasa menyediakan nasi untuk mendampingi ayam. Namun ada sedikit paket ayam yang juga mengikutsertakan nasi dalam menunya, hanya saja tentu nasi yang dimaksud bukan nasi putih seperti laiknya di Indonesia, namun nasi lemak.
NOTE: Kata ‘merah’ pada makanan berdaging berarti daging babi atau ‘pork’. Bila memesan kopi, pastikan mengatakan ‘kopi O’ atau ‘kopi kosong’ yang berarti kopi hitam. Bila anda hanya mengatakan ‘kopi’ maka kopi susu yang akan diberikan. Ohya, sebagai pecinta kopi anda pasti setuju dengan saya bahwa kopi hitam Malaysia sangat ... sangat ... tidak enak.
The Big Note
Saya melihat Pontianak dan Singkawang dalam 5 sampai 10 tahun ke depan. Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Surabaya, Semarang, Medan, Makassar adalah kota-kota besar yang juga menandingi (dan melebihi) Kuching atau kota-kota besar lain di Malaysia (termasuk Kuala Lumpur). Jumlah penduduk Indonesia yang banyak serta persebarannya yang tidak merata membuat kota-kota besar di Indonesia menjadi kalah tertib, kalah ‘rapi’ dan kalah menarik dibanding Kuching. Namun bagi yang paham betul penataan dan struktur kota serta keadaan sosial budaya Pontianak dan Singkawang, dengan bantuan pemerintah yang tegas dan rakyat yang disiplin, tidak lama Kalimantan Barat akan memiliki kota-kota besar.
Kunjungan ke Kuching seperti kelegaan bagi masyarakat Pontianak secara khusus, dari kepenatan dan ketidakteraturan di Pontianak. Gedung-gedung menjulang dan kota yang sepi nan damai di Kuching membuat liburan menjadi melegakan. Namun, bukankah jauh lebih baik bila kunjungan kita tersebut dapat memberikan sumbangsih di dalam negeri? Membantu menyulap kota kita menjadi jauh lebih baik. Seperti kata seorang bule teman baru saya asal Italia yang tidak sengaja bertemu di bis dalam perjalanan pulang ke Pontianak. Pria bernama Max (Massimiliano Marinetti) ini baru Bako National Park di Kuching, namun ia tidak puas karena taman nasional itu terlalu touristee, terlalu terstruktur. Ia ingin ke Tanjung Puting, Pangkalan Bun, Kalimantan Selatan, untuk mengunjungi Taman Nasional Indonesia di sana. Setelah lama berkeliling dunia dan mengunjungi hampir semua pulau di Indonesia, ia berkata:
“I don’t like malaysia. Too developed. There’s no passion in it. Your country has much better things than what Malaysia has.”
Well, I coudn’t agree more, Max.
[caption id="attachment_1413" align="aligncenter" width="529"] Max and Me.
Si bule ini kebingungan dalam perjalanan dari Kuching ke Pontianak. Perbedaan jelas terasa ketika komunikasinya tersendat karena dalam satu bis tidak ada yang mampu berbahasa Inggris, ini tidak terjadi di Malaysia. Setelah sekian lama, saya juga menjadi iba, akhirnya saya dekati untuk mencoba membantunya. Rupanya sedara tadi ia kebingunan untuk mendapatkan informasi untuk pergi ke Pangkalan Bun. Dari sana ia akan berangkat ke Tanjung Puting untuk melihat Taman Nasional. Ia berencana melihat Orangutan dan beragam kera yang ada. Informasi yang ia dapatkan, dari Pontianak ia akan dapat langsung menuju Pangkalan Bun dengan pesawat dari banda Supadio Pontianak. Namun, karena komunikasi yang sangat tersendat dan kesulitan transportasi, semuanya menjadi runyam. Akhirnya setelah banyak pembahasan, saya berinisiatif mengantarkannya ke bandara sesampaianya di Pontianak dengan motor. Jadilah si bule Italia sumringah. Rupanya Taman Nasional Bako di Kuching tidak membuatnya puas. Kabar terbaru yang saya dapatkan ia bersenang-senang dengan orangutan di Taman Nasional Tanjung Puting. Well done, Max. Ciao ...
Seperti janjimu, bila saya ke Italia, kamu yang akan mengantarkan saya berkeliling Venice atau tiga jam perjalanan ke Vatikan.[/caption]
Hai, salam kenal ya.
BalasHapusA great post on Kuching. Kalau ada kesempatan business trip ke Pontianak, aku mau mampir lagi:)